ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
1.
Kasus Ilmu Pengetahuan Teknologi Barat
dan Indonesia
Masalah banjir hingga saat ini
belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah tersebut justru
mengindikasikan semakin meningkat, baik intensitas, frekuensi maupun
sebarannya. Akibatnya kerugian yang ditimbulkan juga semakin meningkat. Secara
nasional, bencana banjir dari bulan Oktober 2001 hingga Februari 2002 tercatat
terdapat 92 bencana banjir besar dengan kerugian yang ditimbulkannya adalah 146
orang meninggal, 4 orang hilang, 389.919 jiwa mengungsi, dan menggenangi
permukiman 54.482 ha (1) .
Meningkatnya masalah banjir
merupakan salah satu dampak negatif dari kebijakan pembangunan yang sampai saat
ini lebih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi dan perhatian terhadap
kelestarian lingkungan sangat kurang. Penataan ruang dalam rangka pembangunan
di dataran banjir belum memasukkan air sebagai faktor pembatas sehingga kurang
mengantisipasi adanya resiko tergenang banjir. Sementara itu, upaya mengatasi
banjir sampai saat ini masih mengandalkan upaya konvensional yang berupa
rekayasa struktur di sungai ( in stream ) yang mempunyai
keterbatasan, bersifat represif dan kurang menyentuh akar permasalahannya.
Selain itu upaya mengatasi masalah banjir sampai saat ini tidak seimbang dengan
laju peningkatan masalah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proses terjadinya banjir
disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
- Faktor peristiwa alam (dinamis), yang
meliputi : intensitas curah hujan tinggi, pembendungan (dari laut/pasang
dan dari sungai induk), penurunan tanah ( land subsidence ),
dan pendangkalan sungai.
- Faktor kondisi alam (statis), yang
meliputi : kondisi geografi, topografi, geometri sungai (kemiringan, meandering , bottle-neck ,
sedimentasi, ambal alam).
- Faktor kegiatan manusia (dinamis),
seperti : pembangunan di dataran banjir, tata ruang di dataran banjir yang
tidak sesuai, tata ruang/peruntukan lahan di DAS, permukiman di bantaran
sungai, pembangunan drainase, bangunan sungai, sampah, prasarana
pengendali banjir yang terbatas, persepsi masyarakat yang keliru terhadap
banjir.
Faktor curah hujan yang tinggi
merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Wilayah Indonesia yang
merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai curah hujan yang sangat
tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif dan orografik maka
intensitas curah hujan yang terjadi sangat besar. Curah hujan yang tinggi,
lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan perubahan ekosistem dari
tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke tanaman semusim berakar
dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar
aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah longsor. Curah hujan yang
tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan
dilepas sebagai aliran permukaaan yang akhirnya menimbulkan banjir.
Tingginya curah hujan dan besarnya
koefisien aliran permukaan semakin memicu suatu kawasan rentan terhadap banjir.
Hal inilah yang terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh adalah wilayah Pulau Jawa
pada musim penghujan, banjir hampir selalu merupakan masalah yang tidak
terelakkan. Kondisi demikian disebabkan potensi air maksimum aliran permukaan
dari curah hujan sebagian besar, yaitu 70-75% atau sebesar 141.803 juta m 3
/tahun akan menjadi runoff, dan hanya 25-30% atau sebesar 47.268
juta m 3 /tahun menjadi aliran mantap yang mengalami infiltrasi, perkolasi dan
tertahan di tanah, waduk serta daerah konservasi air lainnya (2) . Akibatnya
pada musim penghujan, runoff yang demikian besar sangat
berpotensi untuk menjadi banjir dan sebaliknya pada musim kemarau akan rentan
terhadap kekeringan.
Selain faktor alam, yaitu curah
hujan yang tinggi, faktor lain yang mendukung terjadinya banjir adalah faktor
geomorfologi, morfometri DAS, sosial, ekonomi dan budaya penduduk yang mendiami
bantaran sungai juga berpengaruh terhadap banjir. Meningkatnya jumlah dan
kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap banjir. Meningkatnya jumlah
penduduk akan diikuti oleh semakin besarnya kebutuhan lahan untuk permukiman,
pertanian, perkotaan dan kegiatan pendukung lainnya sehingga kawasan konservasi
seperti hutan, pertanian dan ruang terbuka lainnya akan dikonversi untuk
memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Adanya konversi lahan demikian akan
meningkatkan koefisien aliran permukaan. Sebagai misal, pada kawasan hutan
hanya melimpaskan 10-40% air hujan sehingga mampu menyerap air hujan sebesar
60-90%, kemudian berubah menjadi permukiman yang akan melimpaskan sekitar
40-75% air hujan dan 25-60% air hujan yang terserap (3, 4, 5) . Semakin padat
permukiman maka semakin besar limpasan air hujan yang terjadi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini
telah mencapai sekitar 218 juta tersebar di berbagai pulau utama. Dengan
tingkat pertumbuhan sebesar 1,7% per tahun, maka pada tahun 2020 jumlah
penduduk diperkirakan sebesar 280 juta jiwa. Pulau Jawa yang mempunyai luas
hanya 7% dari luas daratan Indonesia menampung 65% (142 juta jiwa) dari jumlah
penduduk Indonesia. Pada dasarwarsa terakhir, laju urbanisasi yang meningkat
menyebabkan perkembangan perkotaan mencapai 5% per tahun. Dengan demikian, pada
tahun 2020 nanti 52% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan dan
sekitarnya, dimana pada tahun 1995 saja telah mencapai 38%. Kondisi demikian
akan menyebabkan Pulau Jawa semakin rentan terhadap bencana banjir dimasa
mendatang jika pengelolaan banjir tidak disiapkan sebaik-baiknya sejak dini.
KESIMPULAN
Banjir yang terjadi di pantai
utara Jawa Barat disebabkan oleh adanya curah hujan yang sangat besar. Di
stasiun Rawa Rorotan dan Pilar curah hujan yang terjadi pada tanggal 30 Januari
2002 sebesar 279 mm dan 246 mm. Curah hujan tersebut merupakan curah hujan
harian maksimum yang mempunyai periode ulang sebesar 350 tahun dan 140 tahun.
Kondisi demikian menyebabkan aliran permukaan dan debit sungai menjadi besar.
Di Sungai Citarum sejak tanggal 30
Januari 2002 hingga 3 Februari 2002 debit sungai mencapai diatas 1.700 m 3
/detik sehingga debitnya lebih besar daripada kapasitas pengendalian banjir
yang didesain sebesar 1.600 m 3 /detik untuk desain pengendalian 25 tahun.
Demikian pula halnya yang terjadi di tempat lain seperti di aliran Cikarang,
Kali Bekasi, Sungai Cilamaya, Ciasem, dan Cipunegara meluap akibat debit sungai
lebih besar daripada desain pengendalian banjir sehingga menimbulkan banjir.
2.
Peran Teknologi Dalam Mengatasi Kemiskinan
Kemiskina
lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup
yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian,
tempat berteduh (Emil Salim, 1982).
Menurut Prof.
Sayogya (1969), garis kemiskinan dinyatakan dalam rp/tahun, ekuivalen dengan
nilai tukar beras (kg/orang/tahun yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan
480
kg/orang/tahun). Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis
kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tidak
memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, dsb;
b. Tidak memiliki
kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan
atau modal usah;
c. Tingkat
pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus
membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
d.
Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa
saja;
e.
Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
Menurut teori
Fungsionalis dari Statifikasi (tokohnya Davis), kemiskinan memiliki sejumlah
fungsi yaitu:
1.
Fungsi Ekonomi
Penyediaan
tenaga untuk pekerjaan tertentu menimbulkan dana sosial, membuka lapangan kerja
baru dan memanfaatkan barang bekas (masyarakat pemulung).
2.
Fungsi Sosial
Meninmbulkan
altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup
bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan merangsang munculnya
badan amal.
3.
Fungsi Kultural
Sumber
inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya
budaya saling mengayomi antar sesama manusia.
4.
Fungsi Politik
Berfungsi
sebagai kelompok gelisan atau masyarakat marginal untuk musuh bersaing bagi
kelompok lain.
Walaupun
kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut. Tetapi
karena kemiskinan berfungsi maka harus dicarikan fungsi lain sebagai pengganti.
Sumber : Harwantiyoko
dan Neltje F. Katuuk; Ilmu Sosial Dasar