VIII AGAMA DAN MASYARAKAT

Minggu, 12 Januari 2014


VIII : AGAMA DAN MASYARAKAT

Ø Fungsi Agama Dalam Masyarakat

     Pengertian agama dalam bahasa sangkerta yaitu "a" adalah tidak "gama" adalah kacau jadi arti yang tidak kacau. Namun pergertian agama menurut Dr.Th.Kobong mengatakan " bahwa agama adalah sumber hidup manusia dalam relasi tiga dimensi ,yaitu relasi dengan Allah pencipta, dengan sesama dan dengan seluruh ciptaan lainnya" . Jadi agama adalah suatu kepercayaan atau keyakinan seseorang terhadap tuhan nya. 

   Agama mempunyai fungsi bagi kehidupan manusia. Agama sebagai pedoman hidup manusia untuk membawa mereka kejalan yang benar. Indonesia sebagai negara hukum, Agama mempunyai peranan sangat penting sesuai dengan isi Pancasila yang pertama " Ketuhanan yang Maha Esa" dimana agama sangat penting bagi bangsa ini. Agama sangat berpengaruh pada kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Tidak lupa bahwa Indonesia memiliki 5 macam Agama yang di lindungi atau di akui oleh UUD yaitu, Islam , Protestan , Khatolik , Hindu , Budha.

Fungsi Agama menurut Prof.Dr.H. Jalaluddin ada 8 yaitu:

a. Fungsi Edukatif, agama memberi penganjaran dan bimbingan kepada kita tentang sejarah agama.
b. Fungsi Penyelamat, kita sebagai manusia ingin hidup bahagia di dunia dan dihkirat. pasti semua orang ingin menikmati Surga apabila ia telah tiada didunia. jadi agama memberi kita pedoman agar kita melakukan perbuatan yang terpuji. yang membuat hidup kita selamat didunia dan diahkirat.
c. Fungsi Perdamaian, setiap manusia yang memiliki kesalah yang sangat besar, dengan bertobat dosa nya bisa diampuni. 
d. Fungsi Kontrol Sosial, adanya sikap sosial terhadap sesama seperi saling menolong,ada nya sikap tenggang rasa. karena agama mencintai perdamaian.
e. Fungsi mumupuk Persaudaraan,karena manusia tidak bisa hidup sendiri dan hidup yang saling tolong menolong akan membangun hubungan persaudaraan.
f. Fungsi Pembaharuan, karena agama membawa kita ke arah yang lebih baik.
g. Fungsi Kreatif.
h. Fungsi Sumbimatif.

Jadi, fungsi agama yaitu sebagai pedoman hidup kita. bahwa sebagai mahluk ciptaan Tuhan kita harus menaati peraturan yang membawa kita kejalan yang benar. Tanpa agama manusia akan menjadi kacau , berantakan.


Ø Kaitan Konflik Yang Ada Dalam Agama Dan Masyarakat

Secara sosiologis, Masyarakat agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya. Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.

Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.

Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.

Konflik yang Ada Dalam Agama dan Masyarakat :

Di beberapa wilayah, integritas masyarakat masih tertata dengan kokoh. Kerjasama dan toleransi antar agama terjalin dengan baik, didasarkan kepada rasa solidaritas, persaudaraan, kemanusiaan, kekeluargaan dan kebangsaan. Namun hal ini hanya sebagian kecil saja karena pada kenyataannya masih banyak terjadi konflik yang disebabkan berbagai faktor yang kemudian menyebabkan disintegrasi dalam masyarakat.

Banyak konflik yang terjadi di masyarakat Indonesia disebabkan oleh pertikaian karena agama. Contohnya tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat, seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan, dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.

Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.

Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.

Hal ini lah yang dilihat sebagai masalah dalam makalah ini, yaitu tentang konflik antar agama yang menyebabkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas dan mengenai kebebasan memeluk agama dan beribadah dalam konteks relasi sosial antar agama. Penyusun mencoba memberikan analisa untuk menjawab masalah ini dilihat dari sudut pandang kerangka analisis sosiologis: teori konflik.





referensi:

http://ginadamar.wordpress.com/2013/01/25/tugas-ilmu-sosial-dasar-8/

VII : IlMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN

1.      Kasus Ilmu Pengetahuan Teknologi Barat dan Indonesia
Masalah banjir hingga saat ini belum dapat diselesaikan secara tuntas, bahkan masalah tersebut justru mengindikasikan semakin meningkat, baik intensitas, frekuensi maupun sebarannya. Akibatnya kerugian yang ditimbulkan juga semakin meningkat. Secara nasional, bencana banjir dari bulan Oktober 2001 hingga Februari 2002 tercatat terdapat 92 bencana banjir besar dengan kerugian yang ditimbulkannya adalah 146 orang meninggal, 4 orang hilang, 389.919 jiwa mengungsi, dan menggenangi permukiman 54.482 ha (1) .
Meningkatnya masalah banjir merupakan salah satu dampak negatif dari kebijakan pembangunan yang sampai saat ini lebih mementingkan aspek pertumbuhan ekonomi dan perhatian terhadap kelestarian lingkungan sangat kurang. Penataan ruang dalam rangka pembangunan di dataran banjir belum memasukkan air sebagai faktor pembatas sehingga kurang mengantisipasi adanya resiko tergenang banjir. Sementara itu, upaya mengatasi banjir sampai saat ini masih mengandalkan upaya konvensional yang berupa rekayasa struktur di sungai ( in stream ) yang mempunyai keterbatasan, bersifat represif dan kurang menyentuh akar permasalahannya. Selain itu upaya mengatasi masalah banjir sampai saat ini tidak seimbang dengan laju peningkatan masalah yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Proses terjadinya banjir disebabkan oleh tiga faktor, yaitu :
  1. Faktor peristiwa alam (dinamis), yang meliputi : intensitas curah hujan tinggi, pembendungan (dari laut/pasang dan dari sungai induk), penurunan tanah ( land subsidence ), dan pendangkalan sungai. 
  2. Faktor kondisi alam (statis), yang meliputi : kondisi geografi, topografi, geometri sungai (kemiringan, meandering bottle-neck , sedimentasi, ambal alam).
  3. Faktor kegiatan manusia (dinamis), seperti : pembangunan di dataran banjir, tata ruang di dataran banjir yang tidak sesuai, tata ruang/peruntukan lahan di DAS, permukiman di bantaran sungai, pembangunan drainase, bangunan sungai, sampah, prasarana pengendali banjir yang terbatas, persepsi masyarakat yang keliru terhadap banjir.
Faktor curah hujan yang tinggi merupakan salah satu faktor utama penyebab banjir. Wilayah Indonesia yang merupakan benua maritim di daerah tropis mempunyai curah hujan yang sangat tinggi. Dengan didominasi oleh adanya awan-awan konvektif dan orografik maka intensitas curah hujan yang terjadi sangat besar. Curah hujan yang tinggi, lereng yang curam di daerah hulu disertai dengan perubahan ekosistem dari tanaman tahunan atau tanaman keras berakar dalam ke tanaman semusim berakar dangkal mengakibatkan berkurangnya air yang disimpan dalam tanah, memperbesar aliran permukaan serta menyebabkan terjadinya tanah longsor. Curah hujan yang tinggi dalam kurun waktu yang singkat dan tidak dapat diserap tanah akan dilepas sebagai aliran permukaaan yang akhirnya menimbulkan banjir.
Tingginya curah hujan dan besarnya koefisien aliran permukaan semakin memicu suatu kawasan rentan terhadap banjir. Hal inilah yang terjadi di Pulau Jawa. Sebagai contoh adalah wilayah Pulau Jawa pada musim penghujan, banjir hampir selalu merupakan masalah yang tidak terelakkan. Kondisi demikian disebabkan potensi air maksimum aliran permukaan dari curah hujan sebagian besar, yaitu 70-75% atau sebesar 141.803 juta m 3 /tahun akan menjadi runoff, dan hanya 25-30% atau sebesar 47.268 juta m 3 /tahun menjadi aliran mantap yang mengalami infiltrasi, perkolasi dan tertahan di tanah, waduk serta daerah konservasi air lainnya (2) . Akibatnya pada musim penghujan, runoff yang demikian besar sangat berpotensi untuk menjadi banjir dan sebaliknya pada musim kemarau akan rentan terhadap kekeringan.
Selain faktor alam, yaitu curah hujan yang tinggi, faktor lain yang mendukung terjadinya banjir adalah faktor geomorfologi, morfometri DAS, sosial, ekonomi dan budaya penduduk yang mendiami bantaran sungai juga berpengaruh terhadap banjir. Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk sangat berpengaruh terhadap banjir. Meningkatnya jumlah penduduk akan diikuti oleh semakin besarnya kebutuhan lahan untuk permukiman, pertanian, perkotaan dan kegiatan pendukung lainnya sehingga kawasan konservasi seperti hutan, pertanian dan ruang terbuka lainnya akan dikonversi untuk memenuhi kebutuhan penduduk tersebut. Adanya konversi lahan demikian akan meningkatkan koefisien aliran permukaan. Sebagai misal, pada kawasan hutan hanya melimpaskan 10-40% air hujan sehingga mampu menyerap air hujan sebesar 60-90%, kemudian berubah menjadi permukiman yang akan melimpaskan sekitar 40-75% air hujan dan 25-60% air hujan yang terserap (3, 4, 5) . Semakin padat permukiman maka semakin besar limpasan air hujan yang terjadi.
Jumlah penduduk Indonesia saat ini telah mencapai sekitar 218 juta tersebar di berbagai pulau utama. Dengan tingkat pertumbuhan sebesar 1,7% per tahun, maka pada tahun 2020 jumlah penduduk diperkirakan sebesar 280 juta jiwa. Pulau Jawa yang mempunyai luas hanya 7% dari luas daratan Indonesia menampung 65% (142 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia. Pada dasarwarsa terakhir, laju urbanisasi yang meningkat menyebabkan perkembangan perkotaan mencapai 5% per tahun. Dengan demikian, pada tahun 2020 nanti 52% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan dan sekitarnya, dimana pada tahun 1995 saja telah mencapai 38%. Kondisi demikian akan menyebabkan Pulau Jawa semakin rentan terhadap bencana banjir dimasa mendatang jika pengelolaan banjir tidak disiapkan sebaik-baiknya sejak dini.

KESIMPULAN
Banjir yang terjadi di pantai utara Jawa Barat disebabkan oleh adanya curah hujan yang sangat besar. Di stasiun Rawa Rorotan dan Pilar curah hujan yang terjadi pada tanggal 30 Januari 2002 sebesar 279 mm dan 246 mm. Curah hujan tersebut merupakan curah hujan harian maksimum yang mempunyai periode ulang sebesar 350 tahun dan 140 tahun. Kondisi demikian menyebabkan aliran permukaan dan debit sungai menjadi besar.
Di Sungai Citarum sejak tanggal 30 Januari 2002 hingga 3 Februari 2002 debit sungai mencapai diatas 1.700 m 3 /detik sehingga debitnya lebih besar daripada kapasitas pengendalian banjir yang didesain sebesar 1.600 m 3 /detik untuk desain pengendalian 25 tahun. Demikian pula halnya yang terjadi di tempat lain seperti di aliran Cikarang, Kali Bekasi, Sungai Cilamaya, Ciasem, dan Cipunegara meluap akibat debit sungai lebih besar daripada desain pengendalian banjir sehingga menimbulkan banjir.


2.      Peran Teknologi Dalam Mengatasi Kemiskinan
Kemiskina lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh (Emil Salim, 1982).

Menurut Prof. Sayogya (1969), garis kemiskinan dinyatakan dalam rp/tahun, ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun yaitu untuk desa 320 kg/orang/tahun dan               480 kg/orang/tahun). Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a.  Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, dsb;
b.  Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan kekuatan sendiri,      seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal usah;
c.  Tingkat pendidikan mereka rendah, tidak sampai  tamat sekolah dasar karena harus membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
d.  Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja;
e.   Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.

Menurut teori Fungsionalis dari Statifikasi (tokohnya Davis), kemiskinan memiliki sejumlah fungsi yaitu:

1.      Fungsi Ekonomi
Penyediaan tenaga untuk pekerjaan tertentu menimbulkan dana sosial, membuka lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas (masyarakat pemulung).
2.      Fungsi Sosial
Meninmbulkan altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan merangsang munculnya badan amal.
3.      Fungsi Kultural
Sumber inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan memperkaya budaya saling mengayomi antar sesama manusia.
4.      Fungsi Politik
Berfungsi sebagai kelompok gelisan atau masyarakat marginal untuk musuh bersaing bagi kelompok lain.

Walaupun kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut. Tetapi karena kemiskinan berfungsi maka harus dicarikan fungsi lain sebagai pengganti.





Sumber : Harwantiyoko dan Neltje F. Katuuk; Ilmu Sosial Dasar


Copyright @ 2013 Fifi Destiani . Designed by Templateism | MyBloggerLab